Sudah beberapa hari galon air mineral Aqua di kamarku hanya berisi udara. Dua hari yang lalu aku telah berkeliling dari ujung jalan Pandega Marta hingga PDAM di jalan Monjali, namun hasilnya nihil. Tak ada satu toko pun yang memiliki stok Aqua galon yang bisa ditukar. Mereka mengaku tak mendapatkan pasokan dari agen sebagaimana biasanya.
Malam ini aku kembali berburu bersama Gepeng demi mencari segalon Aqua yang konon langka sebab harga yang hendak dinaikkan dalam waktu dekat. Rupanya prinsip ekonomi tengah diberlakukan saat ini untuk produk Aqua oleh para agen. Menimbun Aqua. Sama seperti para agen minyak tanah yang kerap menyimpan ratusan liter stoknya manakala tersiar kabar bahwa pemerintah akan menyesuaikan harga.
Dari Toko Merah hingga seratus meter ke selatan, tetap kami tak menemukan apa yang kami cari. Galon Aqua kosong di tangan kami tak juga berganti. Gepeng mengatakan bahwa stok Aqua galon diperkirakan masih tersedia di sebuah toko sebelah utara perempatan Kentungan. Sebab kami berdua yang tak menggunakan helm, maka kami mencuri jalan melalui sebuah gang kecil yang memotong jalur dari arah Monjali.
Nama tokonya? Aku lupa. Yang jelas penjualnya adalah seorang keturunan Tionghoa dengan gaya banci namun baik hati. Harganya? Tak main-main. Limabelas ribu rupiah. Menurut Gepeng, sebenarnya harga dari agen adalah Rp 10.500,-. Namun, karena kabar kenaikan harga tersebut, maka para agen menahan stoknya. Toko bisa mengambil stok tersebut jikalau mereka rela untuk menambah sekedar « uang rokok » bagi para kurir agen Aqua tersebut. Alhasil, harga limabelas ribu rupiah tersebut menjadi nominal yang harus ditanggung oleh konsumen.
Apa boleh buat. Daripada tersiksa tak punya air sementara aku terbangun kehausan di tengah malam, maka bergantilah selembar uang ungu dan coklat dengan segalon air mineral Aqua yang telah kami buru berhari-hari.