Berfoto bukanlah kegemaran saya, namun menyimpan foto diri adalah kesenangan tersendiri. Terutama melihat diri saya sepuluh tahun yang lalu berpose di depan kamera poket berfilm rol isi 36. Saya kerap berceloteh kepada kawan saya tentang beruntungnya anak-anak saat ini karena mereka bisa melacak bagaimana rupa dan tingkah mereka pada waktu kecil. Orang tua mereka dapat dengan mudah memotret dan merekam video anak mereka melalui ponsel dan disimpan untuk diperlihatkan ketika sang anak sudah beranjak besar.
Saat ini saya hanya punya beberapa pose telanjang saya sewaktu masih berumur 6 bulan. Beberapa saya selipkan di buku agenda kerja, sehingga saya bisa melihat dan mengingat bagaimana riwayat rupa saya duapuluh empat tahun yang lalu. Sisa foto yang lain masih tersimpan dengan rapi di album foto di rumah. Oleh sebab tersimpan dalam album itulah, maka foto-foto tersebut jarang sekali untuk dilihat kecuali jika tertemukan pada waktu yang tak disengaja ketika hendak mencari sesuatu barang yang terselip entah di rak buku.
Saat ini jaman memang sudah berubah ketika foto-foto tak hanya bisa tersimpan rapi di dalam album foto. Dengan mudah orang dapat memindai (scan) fotonya ke dalam bentuk digital dan dengan waktu singkat dapat disimpan ke dalam harddisk komputer. Ketika era Web 2.0 memasuki masanya, maka foto tidak lagi bisa dilihat oleh keluarga, kerabat, dan sahabat. Layanan social networking seperti Friendster, FaceBook, dan Flickr memudahkan siapa saja untuk mengakses dan melihat foto yang kita upload ke dalamnya.
Menyimpan foto berarti mencintai setiap kenangan yang terkandung di dalamnya. Dan dengan Flickr beserta dengan situs social networking lainnya, membantu untuk berbagi dan melestarikan kenangan tersebut hingga waktu yang tak terbatas.