Di sebuah perkampungan, tersebutlah sebuah toko kelontong yang merupakan satu-satunya tempat yang menyediakan segala jenis kebutuhan bagi masyarakat setempat. Selama bertahun-tahun, toko kelontong tersebut menjadi tujuan utama setiap penduduk yang ingin membeli barang kebutuhan sehari-hari mulai dari beras, gula, teh, pasta gigi, deterjen, pembalut, rokok, hingga pakaian anak-anak.
Pemiliknya adalah sepasang suami istri yang boleh disebut pribumi sebab kakek dan nenek mereka sudah turun temurun hidup di kampung tersebut. Toko mereka tersebut terlihat sederhana dengan rak-rak barang dagangan yang tertata menempel pada dinding kusam yang jarang tersentuh oleh cat baru setiap tahunnya.
Tak ada yang terlalu istimewa pada toko tersebut, namun karena dia satu-satunya yang buka di tengah perkampungan, otomatis dia menjadi satu-satunya tujuan bagi penduduk kampung. Secara umum, pelayanan yang diberikan pemilik warung tersebut juga tidak mengecewakan. Walaupun mereka terhitung sebagai satu-satunya toko kelontong, tidak lantas mereka berniat untuk mempraktekkan monopoli dengan memberi harga yang berada di atas standar pasar.
Setelah tujuh tahun berlalu, perubahan terjadi. Sepasang suami istri pemilik toko kelontong tersebut tidak lagi menjadi satu-satunya penyedia barang kebutuhan di perkampungan tersebut. Pasalnya, tepat di sebelah toko mereka tersebut telah berdiri sebuah bangunan baru yang menjalankan usaha yang sama dengan yang mereka buat.
Toko baru itu terbangun di atas pondasi yang kokoh, dengan cat yang putih bersinar, serta puluhan lampu neon yang berpendar di atas rak-rak barang jualan yang tertata rapi berjajar. Dinding-dinding luarnya terbuat dari kaca yang 100% transparan sehingga setiap orang yang lewat dapat melihat apa saja yang dijual di dalam toko tersebut. Pada pintu depannya tertempel harga-harga barang yang dengan gamblang tersebut hingga ke titik koma. Para pembeli pun tidak perlu merinci satu-satu barang yang ingin mereka beli kepada pelayan toko, melainkan langsung mengambil dari rak-rak yang ada. Mereka tinggal mengambil keranjang, berkeliling, lalu menaruh keseluruhan barang yang hendak mereka beli di kasir depan. Para pelayan toko tersebut juga cekatan menghitung barang belanjaan masing-masing pembeli. Berbekal pistol laser barcode dan komputer mini, seluruh belanjaan dapat segera diketahui totalnya dalam waktu kurang dari tiga menit.
Toko yang baru tersebut merupakan milik seorang pengusaha dari perkotaan yang sedang mengembangkan usahanya ke daerah. Enam bulan yang lalu, kampung sebelah telah terbangun toko kelontong yang baru dengan pemilik yang sama. Kali ini, giliran kampung ini yang mendapat sasaran perluasan usaha sang pengusaha dari kota tersebut. Kata desas-desus, pemilik toko tersebut adalah orang keturunan.
Tidak ada yang salah memang dengan pemilik toko yang katanya keturunan, namun yang jelas banyak penduduk yang hendak berbelanja kebutuhan sehari-hari tidak lagi menuju ke warung kelontong milik sepasang suami istri tersebut. Mereka lebih tertarik dengan toko baru yang lebih bersih, lebih tertata, lebih cepat pelayanannya, dan juga lebih murah harganya. Selisih harga seratus perak merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keputusan penduduk untuk memilih di mana mereka akan berbelanja.
Perlahan namun pasti, toko kelontong tradisional itupun mulai kehilangan pembeli. Sepasang suami istri tersebut mulai berpikir untuk menutup usahanya yang telah bertahun-tahun mereka jalankan. Berkurangnya pembeli membuat barang dagangan mereka tidak berputar dan menumpuk di rak, dan otomatis uang yang mereka jalankan pun tak mengalir lancar seperti biasa. Sebab mereka kalah bersaing dengan pesaing baru yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih menarik.
Ini memang tidak ada hubungannya dengan isu rasisme. Ini hanya soal bisnis. Menurut Anda?